EMOSIONAL DALAM PACARAN, DIAM-DIAM MEMATIKAN
Bicara soal kekerasan dalam pacaran (KDP) yang terbayang di kepala kita adalah perlakuan semena-mena secara fisik pada pacar
. Seperti, pukulan atau paksaan melakukan hubungan seksual.
. Seperti, pukulan atau paksaan melakukan hubungan seksual.
Menurut Making Waves, sebuah organisasi yang menangani KDP remaja di Amerika, KDP terjadi ketika kita berpacaran dengan seseorang yang menggunakan penyiksaan fisik, seksual, dan emosional untuk mengutarakan perasaannya. Berbeda dengan penyiksaan fisik dan seksual, siksaan emosional tidak meninggalkan luka yang jelas dan sulit dijelaskan, tapi efeknya bisa lebih parah daripada luka fisik.
Ini yang terjadi pada Ine (bukan nama sebenarnya) yang duduk di kelas I sebuah SMA di Jakarta. “Aku enggak bisa ikutan acara kumpul-kumpul sama temannya, tapi aku sudah bilang sebelumnya. Dan kebetulan banget aku juga enggak kasih kabar sama sekali hari itu. Dia marah banget waktu ketemu aku dan bentak aku, “Lo, tuh, bego banget, yah. Lo, tuh, punya cowok tahu enggak?” Aku cuma bisa diam saja, dan puKEKERASANlang ke rumah langsung nangis-nangis gitu.”
Lain lagi yang dialami Dina. Sewaktu Dina masih kelas II SMP, dia sempat pacaran sama cowok yang lebih tua empat tahun dari dia. Setiap kali dia marah, dia selalu bilang, Kamu, tuh, enggak tahu apa-apa. Anak SMP tahu apa, sih? Biasanya aku cuma diam, tapi dalam hati kesal banget.
Dan jangan kira hanya perempuan yang mengalami kekerasan emosional. Pria pun juga bisa menderita.
Rian (nama samaran), siswa kelas II SMA yang pernah pacaran dengan cewek yang suka mengekang. Rian dilarang main sama teman-teman cowoknya dengan alasan takut Rian jadi bandel. Dia juga selalu marah kalau aku ngobrol sama cewek. Sering banget dia lihat aku lagi ngobrol sama cewek, dia langsung kirim SMS untuk marah-marah. Pernah juga dia agak teriak gitu minta putus di depan teman-teman yang lain. Eh, pas sampai rumah, dia minta maaf. Alasannya yang tadi dilakuin karena lagi pusing. Aku juga pusing kalau digituin! ucap Rian dengan kesal.
Tapi, sampai di mana sebuah hubungan bisa disebut diwarnai kekerasan emosional?
Ketika hubungan itu sudah merusak. (Seperti) kalau pacar melarang kita untuk bergaul, itu kan artinya menghambat kehidupan sosial. Itu sudah merusak! tandas psikolog Dra Tri Iswardani MSi.
Hubungan sehat
- Keluar dari suatu hubungan yang enggak sehat bukan suatu perkara gampang. Alasan masih sayang jadi kekuatan utama buat tetap bertahan.
“Aku masih sayang. Terus…, setiap kali dikasarin aku pasti mikirnya pengin putus. Tapi besoknya aku selalu mikir kalau masih ada harapan dia bisa berubah,” curhat Dina sedih.
Untuk mengubah seseorang itu susah! Harus dimulai dari dirinya sendiri. Psikolog saja cuma memberi tahu konsekuensi suatu tindakan seseorang dan pada akhirnya orang itulah yang memutuskan untuk berubah, tandas Bu Dani yang juga pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Daripada berkeinginan mengubah orang, lebih baik ketika kita mulai merasa tidak nyaman dalam suatu hubungan, katakan terus terang pada pacar bahwa perilakunya mulai tidak asyik. Ceritakan masalah ini pada teman atau keluarga supaya kita dapat bantuan. Enggak perlu malu. Ini cara paling baik supaya kita enggak makin tertindas. Cara lain, Putus! Remaja mesti tahu bahwa pacaran yang baik itu adalah saat mereka saling menghargai, bukan menyakiti, ujar Bu Dani.
Making Waves membedakan antara sebuah hubungan yang sehat dan tidak sehat. Sebuah hubungan adalah sehat ketika kita dan pacar membuat keputusan bersama, mampu mendiskusikan perbedaan pendapat, saling mendengarkan, saling menghargai, mau berkompromi, merasa nyaman jika melakukan kegiatan sendirian tanpa pacar dan tidak ada yang berusaha mengontrol hubungan.
Bagaimana cara kita mendapatkan hubungan seperti ini?
Yaitu dengan saling jujur di awal pacaran, memberikan ruang pada pacar, jangan berharap pacar bisa mengatasi segala masalah atau memberikan semua keinginan kita dan yang paling penting, perlakukanlah pacar seperti halnya kita ingin diperlakukan. Hey, pacaran itu untuk saling menyayangi, kan? Bukan ajang kita berlaku egois dan menekan orang lain, dengan alasan, “Ini caranya aku menunjukkan rasa cinta.” Aah basi, tuh!
Solusi :
Seharusnya perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, harus melapor ke pihak yang berwenang atau mencari bantuan terdekat seperti tetangga atau RT maupun RW untuk meminta perlindungan sementara. Selanjutnya bisa meminta perlindungan, pertolongan, dan keadilan seperti kepada KOMNAS PEREMPUAN.
Dengan cenderungnya perempuan yang menjadi korban menghindari pelaporan ke polisi, karena alasan enggan mendapat persoalan yang besar maka banyak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi menjadi meningkat. Hal demikian terjadi dikarenakan pelaku kekerasan berbuat semaunya, berhubungan korban enggan melapor tindak kekerasan yang dialaminya.
Sumber :
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/07/03/brk,20090703-185032,id.html
Komentar
Posting Komentar